Minggu, 27 April 2008

FAHRI SI PENJUAL TROMPET

Oleh: Zaldy Munir

FAHRI, demikian nama lelaki yang berumur empat puluh tahun, namun bertampang serenta enam puluh tahun. Rambut hitamnya yang mulai memutih diatur rapih. Matanya yang jenuh dan mukanya berkerut karena usianya. Kerutan di wajahnya mencerminkan kelelahan. Bahunya yang dahulu tegak kini mulai terbungkuk. Urat-urat nadi yang terpilih di otot tanganya mulai keriput.

Di kota ini ia hanya hidup seorang diri. Tinggal dibilangan daerah yang padat di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Dengan ditemani redupnya cahaya lampu teplok berukuran kerdil, dan ruangan untuk tidur berukuran meja pimpong. Jendela yang berukuran upil gajah tak mampu membuat terang-benderang ruangan tersebut.

Siang itu, panas terik matahari yang menyengat di atas kepalanya dan angin yang berhembus pelan seolah tak ada artinya. Hanya sebatang daun kering yang menempel di selah bibir tipisnya. Fahri hanya dapat menunggu dan menunggu seorang pembeli, agar dagangannya berupa terompet laku terjual. Demikianlah pekerjaan yang Fahri lakukan sebagai seorang penjual terompet.

Ia biasa berjualan terompet di kawasan keras Terminal Senen, Jakarta Pusat. Meskipun hiruk-pikuk pengunjung Pasar Senen membuatnya pusing. Lalu lalang orang-orang berbelanja, teriakan pedagang obralan dan bau teringat yang menyengat membuat kesumpekan semakin terasa.

Namun, semuanya itu tak membuatnya menyerah. “Hidup di Jakarta memang susah-susah gampang. Susah kalau kita nggak mau berusaha. Hidup di kota ini apa aja bisa jadi duit, asalkan kita mau berusaha dan tidak menyerah,” ujarnya, lelaki kelahiran Yogyakarta.

Ia berjulan terompet hampir setiap tahun, “Saya berjualan terompet memang hapir setiap tahun. Karen sehari-hari saya bekerja sebagai pengumpul besi tua,” ungkap lelaki yang kini menduda.

Menjelang tahun baru penghasilannya dibilang lumayan. Dalam sehari ia dapat menjual sepuluh sampai lima belas terompet dalam sehari, dengan harga yang bervariasi, tergantung dari bentuk dan model terompetnya.

“Namanya juga jualan. Kadang-kadang laku kadang-kadang nggak. Tapi, dengan menjual terompet saya ada penghasilan lumayan, ketimbang mencari besi tua. Kalau jual terompet sehari saya bisa dapat tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu sehari, kalau mencari besi tua tergantung. Kadang dua puluh ribu, kadang sepuluh ribu,” bebernya.

Fahri memulai aktivitasnya berjualan terompet dari pukul sepuluh pagi sampai pukul lima sore. Untuk mendapatkan terompet-terompet ia harus mencari di daerah kali deres. Karena di situ model-model terompetnya sangat banyak, mulai model biasa sampai yang model ular. “Memang jauh sih saya mencari terompetnya, jam enam pagi saya harus berangkat ke terminal kali deres. Walaupun jauh saya puas, karena saya dapat menjual beberapa model terompet, “ imbuhnya.

Entah mengapa tiba-tiba pelupuk matanya berubah sedih ketika ditanya perihal anak dan istrinya. Pandangannya di hempaskan ke arah jalan, menghirup napas panjang, lalu ia berkata. “Anak dan Istri saya sudah lama meninggal dunia. Padahal mereka adalah yang bisa membuat saya bertahan. Bertahan dari kemiskinan dan kesengsaraan,” tuturnya sembari mengelap keringat di wajahnya.

“Ketika mereka meninggal saya menjalani hidup sekedar hidup. Tanpa arah. Seperti orang kehilangan kompas. Saya bergerak berdasarkan angin, bukan berdasarkan hati,” lanjut lelaki yang mempunyai hobi memancing ini.

Angin berhembus pelan, daun-daun bergoyan gontai, dan kicauan burung-burung gereja di atas tiang listrik membuat suasana waktu itu semakin khidmat, walaupun sang mentari sudah menyengat tubuhnya tanpa ampun kala itu.

Ia terdiam sejenak dan mengarahkan pandangannya ke langit. Tidak lama kemudian ia berkata. “Ketika anak dan istri saya meninggal, hampir tiap malam saya menangis, tapi tanpa airmata. Entahlah, mungkin karena saya sudah lelah mengasihani diri sendiri atau karena mata saya sudah mati...!,” tungkasnya lebih lanjut.

“Istri saya bernama Lili. Ia meninggal ketika melahirkan. Dokter bilang ia harus diopresi sesar, karena nggak ada uang akhirnya saya hanya bisa pasrah dan menyerahkan kepada Tuhan,” ucap lelaki yang hobi makan combro goreng.

“Anak saya bernama Agus. Ia meninggal ketika berumur dua tahun. Karena demam berdarah. Lagi-lagi karena tidak ada biaya untuk ke rumah sakit. Akhirnya saya hanya bisa pasrah, pasrah pada nasib,” sendunya.

Di tahun ini ia tidak banyak berharap apa-apa. Untuk bisa makan itu sudah cukup baginya. “Buat saya di tahun baru ini saya nggak banyak berharap apa-apa. Bagi saya bisa makan saja, sudah cukup,” tambahnya.

“Kalau berharap dari pemerintah sepertinya mustahil. Karena mereka itu hanya mementingkan nafsu kebinatangannya. Yang kaya makin kaya, yang miskin maskin miskin,” pungkasnya.***

OJEK SEPEDA, TRANSPORTASI UNIK DAN BEBAS POLUSI

Oleh: Zaldy Munir


JAKARTA sebagai kota metropolitan dan juga sebagai pusat dari aktifitas masyarakat. Di sini beragam pekerjaan dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di kota ini pula mempunyai beragam macam cerita. Bahkan alat transportasi di kota ini pun beragam, mulai dari yang modern, seperti Busway hingga yang tradisional, seperti ojek sepeda.

Ojek sepeda, sudah marak menghiasi sudut Utara Ibu Kota sejak tahun tujuh puluhan. Dahulu transportasi yang satu ini digunakan sebagai alat transportasi utama, tapi di era Milinium seperti saat ini mulai di lupakan. Untuk saat ini, transportasi yang unik dan jarang ditemukan dapat anda nikmati di Terminal Tanjung Priuk atau di perempatan Stasiun Jakarta Kota.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Azin akan menggeluti profesi yang sudah mencapai genera ke tiga dari keluarganya. Pekerjaan yang ia tekuni untuk sebagaian masyarakat memang jarang mendapat perhatian. Mungkin hinaan atau cacian yang mereka alami.

Namun bagi Azin lelaki kelahiran Kebumen 14 Juli 1973 tak ada pilihan lagi selain menjadi pengojek sepeda. Di kota ini ia bermukim di daerah pasar ikan Jakarta Utara, dengan ditemani oleh sang istri tercinta dan kedua anaknya.

Azin menekuni profesi yang satu ini baru tiga tahun, sebelumnya ia sempat bekerja sebagai kulir di Mangga Dua. Karena penghasilannya kurang memuaskan lantas ia pindah profesi menjadi tukang ojek sepeda. Sepeda ontel yang ia dapat pun dari kawan seprofesinya dengan harga Rp. 250 ribu. ”Dulu saya kerja di Mangga Dua sebagai kulir, tapi karena gajinya kecil dan terikat dengan waktu jadinya saya keluar aja. Enakan di sini, kerjanya yang nggak terikat waktu,” tutur Azin seraya menghisap sebatang rokok Filter yang terselip jelas di jari tangannya.

Tepat di depan Musium Bank Mandiri ia biasa mangkal. Sang mentari nyaris tahu semua kebiasaan lelaki yang berbadan gempal ini. Panas matahari menyengat di kepala dan angin berembus pelan seperti tak ada artinya. Hanya sebatang rokok yang menempel di bibirnya, asap yang mengepul di mulutnya ditiup keras, terbang ke setiap penjuru dibantu dengan angin yang bertiup pelan. Mungkin dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan profesi yang satu ini.

Biasanya ia mulai bekerja dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore. Dalam sehari ia mengantongi uang sebasar Rp. 20 ribu sampai 50 ribui. Uang yang diperolehnya untuk makan, membayar kontrakan, dan sebagian lagi disisihkan untuk istri dan anak-anaknya.

Azin mulai kebanjiran penumpang pada jam-jam kerja, yaitu pada jam 7 pagi hingga jam 9 pagi. Cukup mengherankan memang bagi Azin dengan kehadiran Busway bukan sebagai kendala ataupun musibah, tetapi menjadi ’keberkahan’ tersendiri buatnya. ”Dengan kediran Busway ini menurut saya menjadi ’keberkahan’ sendiri, para penumpang yang turun biasanya naik ojek sepeda,” ujarnya Bapak dari Iwan, dan Yuni ini.

Dengan masih beroperasinya ojek sepeda, maka akan menjadi salah satu sarana transportasi yang efektif serta menjadi suatu cerminan pada pengurangan tingkat polusi di Ibu Kota. ***

TULISAN INDAH MENGUBAH IJAZAH

Oleh: Zaldy Munir


SAMBIL duduk diemperan toko dan ditemani kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya, sementara tangannya dengan trampil menggoreskan pena di atas kertas piagam untuk membuat tulisan indah, itulah pekerjaan sehari-hari yang dilakukan Herman, 38 tahun.

Laki-laki keturunan Jawa tersebut sudah sepuluh tahun menjalani profesinya sebagai penulis indah di Pasar Baru, pekerjaan itu ia jalani setelah sebelumnya bekerja sebagai karyawan disebuah perusahaan Advertising di Jakarta, namun karena tidak mau terikat dengan peraturan-peraturan perusahaan maka akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sendiri sebagai penulis indah. “Dulu saya bekerja diperusahaan Advertising, tapi karena ogah terikat maka saya keluar,” tutur Herman seraya menghisap sebatang rokok yang terselip jelas di jari tangannya.

Ayah dari Bagus Eka Pradana, 13 tahun yang duduk di kelas 2 SMP dan Indah Nur Kholilah, 6 tahun TK awalnya mangkal di pinggir jalan raya Pasar Baru, namun karena digusur oleh trantib akhirnya memilih emperan toko di Pasar Baru sebagai tempat mangkalnya dengan alasan aman dari gusuran trantib. “Dulu saya mangkal di pinggir jalan, tapi karena digusur trantib makanya saya pindah di sini, “ ujarnya.

Selain menjual jasa menulis indah, suami Suprihatin ini juga berjualan bingkai, kartu ucapan serta menerima melukis wajah, tapi sekarang tinggal menjual jasa nulis indah dan melukis wajah saja yang ia jalani, semua itu karena adanya krisis moneter serta masuknya hand phone yang membuat orang tidak memerlukan lagi kartu ucapan. “Untuk mengucapkan sesuatu tinggal SMS pakai HP saja lebih cepat,“ ucapnya.

Selain menerima order menulis indah Herman juga menerima order lainnya, seperti memperbaiki kesalahan tulisan atau mengganti isi yang tertulis di dokumen. Saat laki-laki yang mempunyai hobi memancing itu sedang santai sambil menikmati segelas air jeruk, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang memintanya untuk mengganti nama yang ada di dokumen kesehatan untuk mengurus keimigrasian, setelah melihat akhirnya Herman meminta imbalan Rp 100 ribu, tapi laki-laki itu menawar Rp 50 ribu. Karena tidak terjadi kesepakatan akhirnya pekerjaan tersebut diberikan pada temannya se-profesi.

Ketika ditanya apakah bisa membuatkan ijazah palsu? Dengan santai ia menjawab tidak bisa karena tidak mempunyai bahan kertas yang biasa digunakan untuk membuat ijazah, namun ia bersedia mengubah ijazah yang sudah jadi, seperti mengganti nilai, mengganti nama sesuai dengan keingginan si pemilik. “Kalau bikin ijazah nggak bisa, karena di sini nggak ada kertasnya,” terang Herman sembari manggaruk kepalanya yang sudah dipenuhi uban.

Untuk merubah nilai ijazah sebanyak 2 mata pelajaran Herman meminta ongkos sebesar Rp 150 ribu dengan imbalan hasil pekerjaan yang cukup memuaskan. Sehari-hari laki-laki kelahiran Jakarta itu mengawali aktifitasnya dengan menumpang kereta api dari Depok dan tiba di Pasar Baru pukul 09.00 wib dan pulang pada pukul 5 sore, dengan penghasilan berkisar antara Rp.75 ribu – Rp.100 ribu perhari.

Dengan keahlian yang dimilikinya laki-laki lulusan SMA Boedi Oetomo itu sering mendapat order pekerjaan dari instansi pemerintah, seperti Pemda, Departemen Keuangan dan lainnya. Biasanya mereka meminta Herman untuk menuliskan sertifikat atau piagam bila sedang ada seminar atau workshop. “Dulu saya sering diminta oleh Pemda dan Departemen Keuangan untuk nulis sertifikat. Bahkan Antara kalau ada pendidikan juga sering minta saya yang nulisin,“ terang Herman sambil tersenyum malu.

Tapi mengapa keahlian yang dimiliki oleh Herman dan kawan-kawannya sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang mempunyai moralitas rendah, yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan bahwa tindakannya itu akan merugikan orang lain. ***

Jumat, 25 April 2008

BAGAIKAN TAMBANG EMAS DI BALIK BARANG BEKAS

Oleh : Zaldy Munir


PANAS, pengap, kotor dan kumuh merupakan kesan pertama ketika memasuki wilayah penampungan besi tua. Sederet gerobag tua dengan barang rongsokan yang ditunggui tuannya berjajar mengantri untuk menunggu saat ditimbang barang dagangannya.

Di antara tumpukan besi-besi tua yang berlarian ke mana-mana, lelaki dengan kaos oblong yang kotor terlihat sibuk. Sementara tangannya dengan trampil menimbang dan memilah-milah barang-barang yang disetor oleh pelanggannya, yaitu para pemulung. Itulah Pekerjaan Saturi, 32 tahun asal Madura Jawa Timur sebagai pengumpul besi tua di Jl. Perintis Kemerdekaan, Kelapa Gading Jakarta Utara.

Saturi, yang menempati sebidang tanah garapan yang dibelinya, sudah 20 tahun ia menggeluti jual beli besi tua. Pekerjaan ini adalah turun-menurun dari orang tuanya yang juga pengumpul besi tua di daerah Cilincing Jakarta Utara. “Sejak umur 12 tahun saya ikut bekerja besi tua membantu orang tua, dan setelah menikah berdiri sendiri,” ujarnya.

Besi tua adalah barang bekas yang seolah tiada guna dan tak berharga. Namun tidak demikian bagi ayah dua anak yang masih berumur 7 tahun dan 10 bulan ini. Besi tua bagaikan tambang emas baginya, dan sumber kehidupan bagi keluarganya. “Saya asal Madura, dan Madura tidak bisa lepas dari besi tua, ini sudah turun-menurun, di mana ada besi tua di situ ada Madura,” tegasnya sembari tertawa..

Jual beli besi tua adalah pekerjaan yang tampaknya kotor dan terkesan kumuh. Tidak setiap orang mau mengerjakannya, namun bagi laki-laki berbadan gemuk ini, jual beli besi tua merupakan pekerjaan yang menguntungkan. Dengan besi tua ini Saturi bisa meghidupi keluarganya. Orang lain menganggap barang bekas seperti kaleng, besi tua, adalah sampah yang tak berguna, namun bagi pengumpul besi tua sangat berharga. “Barang-barang bekas ini masih ada harganya mas, biar barang bekas seperti besi tua ini kalau saya beli kurang dari Rp. 2000,-/kg dan saya menjual Rp 2000,- sampai Rp 2500 / kg tergantung kualitas besinya,” kata Saturi.

Sembari mengelap keringatnya laki-laki dengan bahasa khas Madura mengatakan: Usaha besi tua itu pekerjaan yang tidak pasti, kadang rame kadang sepi, tidak tentu mas. tergantung keadaan. Kalo pas ada borongan banyak saya bisa kirim ke pabrik di Pulo Gadung hasil bisa besar bisa untung 5 sampai 10 jutaan rupiah. Tapi kalo pas sepi yaa nunggu saja gerobag-gerobag pemulung. Yaa paling-paling Rp 2 juta /bulan.

Biar setiap hari bergelut dengan besi tua yang kotor dan kumuh namun Saturi dengan tekun menaruh harapan besar dari usahanya. “Biar kerjaan ini kotor, tapi saya optimis bisa menghidupi keluarga. Dan saya bisa berhasil seperti bapak saya dan saudara-saudara saya dari Madura. Mereka bisa pergi haji dan punya rumah mewah. Ini pekerjaan halal,” tegasnya.***

PASAR ANTIK DI JALAN SURABAYA

Oleh: Zaldy Munir


BILA sekali waktu Anda lewat Cikini atau Menteng, cobalah menyempatkan ke jalan Surabaya. Perhatikanlah sepanjang jalan itu. Jalan Surabaya ini, sangat terkenal dengan barang-barang antiknya. Karena itu, pasar ini pun dinamakan pasar antik Jakarta.

Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, dikenal sebagai Pasar Antik Jakarta. Dibandingkan tempat lainnya, lokasi ini merupakan yang paling terkenal. Puluhan kios barang antik berjejer sepanjang jalan itu. Yang dijual berupa barang pecah belah, seperti guci, piring, alat-alat kapal, lampu hias, wayang kulit serta ratusan barang antik lainnya yang terbuat dari kuningan atau tembaga.

Keberadaan pasar antik di Jakarta tidak diketahui secara pasti kapan waktunya. Diperkirakan para pedagang pasar sudah ada di sana sejak 30-40 silam (Sekitar tahun 1960-an). Sebelum ada pasar barang antik, di sini dulunya pasar loak, yaitu tempat orang menjual barang-barang bekas, seperti baju, celana, kipas angin dan sejumlah barang elektronik lainnya. Namun, ketika tahun 1971, saat itu sudah banyak yang menjual barang-barang antik, seperti alat-alat kapal, teropong, kompas, lampu, setir kapal dan lainnya. Begitu juga dengan guci, porselin dan keramik. Semuanya sudah ada hingga saat ini.

Selama kurang lebih dari tiga dasawarsa, sebelum krisis moneter (Krismon) tahun 1998, pedagang barang antik banyak meraup keuntungan. Kebanyakan pembeli adalah bule (Turis asing). Mereka umumnya membeli barang-barang, seperti porselin dan guci dari Cina. Namun, banyak juga yang membeli barang antik berupa alat kapal, seperti kompas, teropong nahkoda, helm untuk berenang, hingga setir kapal.

Harga yang ditawarkan sangat bervariasi, tergantung jenisnya. Ada yang dijual Rp 20 ribuan, seperti wayang kulit, dan ada yang hingga bernilai Rp 5 juta, seperti lampu hias besar.
Akan tetapi, sejak krisis moneter kehidupan para pedagang barang antik di kawasan ini berubah. Omzet penjualan turun. Sejumlah investor asing hengkang. Akibatnya, para penikmat atau kolektor barang antik menjadi berkurang.

Idan Kusnadi, Wito, dan Is juga mengamini sulitnya kondisi sekarang. Menurut Idan, selama kurang lebih 20-25 tahun ia menjadi pedagang barang antik di Jalan Surabaya ini, sejak reformasi hingga saat ini ia kurang beruntung. “Sekarang sangat susah mendapatkan pembeli. Kalau mau jual barang antik malah makin banyak,” kata pria berusia 45 tahun ini.

Para pedagang antik sangat berharap kondisi ekonomi, stabilitas politik Indonesia bisa stabil dan berjalan dengan baik. Karena itu, mereka mengharapkan pemerintah terus memperbaiki kinerja untuk menjaga stabilitas ekonomi, politik, keamanan dan sosial-budaya. ****